Sabtu, 04 November 2017

Pendidikan Karakter Dalam Teori Pendidikan Ki Hajar Dewantara



Pendidikan Karakter
Dalam Teori Pendidikan Ki Hajar Dewantara


A.  Pengertian pendidikan karakter
Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan adalah sebagai daya dan upaya yang dilakukan untuk memajukan bertumbuhnya budipekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran dan tubuh anak agar dapat mencapai kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak peserta didik dapat selaras dengan dunianya (Tamansiswa. 1967:15).
Pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses transformasinilai (transformation of value). Dengan kata lain pendidikan adalah proses pembentukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia.
Sedangkan karakter dalam istilah sederhananya adalah pendidikan budi pekerti, kata karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya watak. Ki Hajar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter, mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain (Tamansiswa. 1977: 24).
Karakter adalah pola untuk membentuk peserta didik yang beradab, membangun watak manusia yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan memiliki ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, sehingga bisa mewujudkan manusia yang mandiri serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa, negara dan masyarakat pada umumnya.

B.  Konsep pendidikan karakter
Ki Hajar Dewantara merupakan keturunan dari Paku Alam III, dan mendapat pendidikan agama dari ayahnya dengan berpegang pada ajaran yang berbunyi “syariat tanpa hakikat adalah kosong, hakikat tanpa syariat adalah batal” (Soeratman, 1985: 16). Beliau juga mendapat pelajaran falsafah Hindu yang tersirat dari cerita wayang dan juga satra jawa gending. Ki Hajar Dewantara di dalam keluarganya banyak bersentuhan dengan iklim keluarga yang penuh dengan nuansa kerajaan yang feodal. Walaupun ayahnya seorang keturunan dari paku alam III, Ki Hajar Dewantara seorang yang sangat dekat dengan rakyat, karena pada masa kecilnya Ki Hajar Dewantara senang bergaul dengan anak-anak kebanyakan di kampung-kampung sekitar puri tempat tinggalnya. Ki Hajar Dewantara menolak adat feodal yang berkembang di lingkungan kerajaan. Hal ini dirasakan olehnya bahwa adat yang demikian menganggu kebebasan pergaulannya (Tamansiswa, 1979: 15).
Pada masa itu pendidikan sangatlah langka, hanya orang-orang dari kalangan Belanda, Tiong Hoa, dan para pembesar daerah saja yang dapat mengenyam jenjang pendidikan yang diberikan oleh pemerintahan Belanda. Ki Hajar Dewantara sewaktu kecil mendapat pendidikan formal pertama kali pada tahun 1896, akan tetapi Ki Hajar Dewantara merasa kecewa karena teman sepermainannya tidak dapat bersekolah bersama sebab mereka hanya rakyat biasa. Hal ini yang kemudian mengilhami dan memberikan kesan yang sangat mendalam di dalam hati nuraninya, dalam melakukan perjuangannya baik dalam dunia politik sampai dengan pendidikan. Ki Hajar Dewantara juga menentang kolonialisme dan foedalisme yang menurutnya sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan kemerdekaan dan tidak memajukan hidup dan penghidupan manusia secara adil dan merata (Soeratman, 1985: 19).
Kecintaan Ki Hajar Dewantara terhadap ilmu pengetahuan dan agama membuatnya menjadi sosok yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang sangat luas, sehingga membuat beliau dihormati oleh rakyat dan disegani oleh musuh. Ki Hajar Dewantara melihat ketimpangan pendidikan yang dialamai oleh rakyat kecil, sehingga mendorong Ki Hajar Dewantara untuk berusaha memperjuangkan rakyat kecil agar dapat mengenyam pendidikan, karenabagi Ki Hajar Dewantara pendidikan merupakan hak setiap manusia dan juga bekal bagi masa depan.

C.    Tujuan pendidikan karakter
Tujuan pendidikan bagi Ki Hajar Dewantara adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya (Suparlan. 1984: 109). Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan yaitu suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju kearah keluhuran budaya manusia.
Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu ;
1.      Kontinuitas yang berarti bahwa garis hidup kita sekarang harus merupakan lanjutan dari kehidupan kita pada zaman lampau berikut penguasaan unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa lain,
2.      Konvergensi yaitu berarti kita harus menghindari hidup menyendiri, terisolasi dan mampu menuju kearah pertemuan antar bangsa dan komunikasi antar negara menuju kemakmuran bersama atas dasar saling menghormati, persamaan hak, dan kemerdekaan masing-masing,
3.      Konsentris yang berarti setelah kita bersatu dan berkomunikasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia, kita jangan kehilangan kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia adalah masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan kepribadian sendiri, meskipun bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran yang konsentris masih tetap memiliki lingkaran sendiri yang khas yang membedakan negara Indonesia dengan negara yang lainnya (Tamansiswa. 1977: 206).

D.  Dasar pendidikan
Falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara bukan semata-mata sistem pendidikan perjuangan, melainkan juga merupakan suatu pernyataan falsafah dan budaya bangsa Indonesia sendiri. Sistem pendidikan tersebut kaya akan konsep-konsep kependidikan yang asli. Ki Hajar Dewantara mengembangkan sistem pendidikan melalui Perguruan Taman Siswa yang mengartikan pendidikan sebagai upaya suatu bangsa untuk memelihara dan mengembangkan benih turunan bangsa itu. Untuk itu, Ki Hajar Dewantara mengembangkan metode among sebagai sistem pendidikan yang didasarkan asas kemerdekaan dan kodrat alam.
Sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara dikembangkan berdasarkan lima asas pokok yang disebut Pancadarma Taman Siswa, yang meliputi: Asas kemerdekaan, Asas kodrat alam, Asas kebudayaan, Asas kebangsaan, Asas kemanusiaan.

E.  Pokok ajaran
Pokok ajaran Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan yang cocok untuk anak-anak Indonesia adalah Pendidikan Nasional. Untuk menyelengarakan pendidikan nasional beliau mendirikan Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa yang kemudian dikenal sebagai Perguruan Taman Siswa. Perguruan Taman Siswa bertujuan untuk membuat rakyat pandai, sebab Ki Hajar Dewantara berkeyakinan bahwa perjuangan pergerakan tidak akan berhasil tanpa kepandaian. Untuk itu Ki Hajar Dewantara mengemukakan konsepnya mengenai Pendidikan Nasional yang direalisasi mulai tanggal 3 Juli 1922 dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta dengan tugas-tugasnya.
Dalam pandangan Ki HajarDewantara kedewasaan bisa diartikan sebagai kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang selaras dengan alamnya dan masyarakat. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan secara umum sebagai daya upaya untuk mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelektual) dan jasmani anak, menuju ke arah masa depan yang lebih baik. Kedewasaan akan tercapai pada akhir windu ketiga, yaitu tercapainya kesempurnaan hidup selaras dengan alam anak dan masyarakat. Jadi dapat diartikan bahwa pendidikan terutama berlangsung sejak anak lahir hingga anak berusia sekitar 24 tahun.
1.    Ing ngarsa sung tulada
Berarti guru sebagai pemimpin (pendidik) berdiri di depan dan harus Semboyan Ki Hajar Dewantara yang tidak kalah penting adalah konsep dasar pendidikan karakter yang sekaligus diterima sebagai prinsip kepemimpinan bangsa Indonesia yang dikenal sebagai sistem among, yang antara lain berbunyi: mampu memberi teladan kepada anak didiknya. Guru harus bisa menjaga tingkah lakunya supaya bisa menjadi teladan. Dalam pembelajaran, apabila guru mengajar menggunakan metode ceramah, guru harus benar-benar siap dan tahu bahwa yang diajarkannya itu baik dan benar.
2.    Ing madya mangun karsa
Berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) ketika berada di tengah harus mampu membangkitkan semangat, berswakarsa dan berkreasi pada anak didik. Hal ini dapat diterapkan bila guru menggunakan metode diskusi. Sebagai nara sumber dan sebagai pengarah guru dapat memberi masukan-masukan dan arahan,
3.    Tut wuri handayani
Yang berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) beradadi belakang, mengikuti dan mengarahkan anak didik agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab. Ketika guru berada di tengahmembangun semangat, di belakang memberi dorongan, dapat terjadi anak didik akan berusaha bersaing, berkompetisi menunjukkan kemampuannya yang terbaik (Soeratman. 1989 : 98).

Ki Hajar menyetujui teori Konvergensi, dimana perkembangan manusia itu ditentukan oleh dasar (nature) dan ajar (nurture). Anak yang baru lahir diibaratkan keertas putih yang sudah ada tulisannya, tetapi belum jelas”. Selanjutnya Ki Hajar juga berpendapat bahwa perkembangan anak didik mulai dari lahir hingga dewasa dibagi atas fase-fase sebagai berikut: (1) Jaman Wiraga (0-8 th) merupakan periode yang amat penting bagi perkembangan badan dan pandcaindra. (2) Jaman Wicipta (8-16 th) merupakan masa perkembangan untuk daya-daya jiwa terutama pikiran anak, dan (3) Jaman wirama (16-24 th) masa untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat di mana anak mengambil bagian sesuai dengan cita-cita hidupnya (Tamansiswa. 1977:76)

F.   Metode pendidikan
Metode pendidikan yang digunakan oleh Ki Hajar Dewantara adalah sistem among, dalam sistem among pendidik atau guru hanya bertugas untuk menuntun anak didiknya. Mendidik anak berdasarkan pada asih, asah dan asuh, yang bersendikan pada kemerdekaan anak didiknya sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri. Maksud dari manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Selain merdeka yaitu kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya.
Metode Among sering dikaitkan dengan semboyan yang berbunyi: Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut Wuri Handayani. Semboyan ini telah banyak dikenal oleh masyarakat dari pada metode among sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat yang belum memahaminya. Metode among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya mengasuh anak. Para guru atau pendidik disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Sikap Momong, Among, dan Ngemong, didalamnya terkandung nilai yang sangat mendasar, yaitu pendidikan tidak memaksa namun bukan berarti membiarkan anak berkembang bebas tanpa arah. Metode among mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang.


G.    Materi pendidikan
Pendidikan karakter membutuhkan proses atau tahapan yang sistematis dan sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Pembangunan karakter tidak cukup hanya dimulai dan diakhiri dengan penetapan misi, akan tetapi perlu dilanjutkan dengan proses yang dilakukan secara terus-menerus sepanjang hidup. Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan, pelaksanaan, dan kebiasaan. Karakter tidak terbatas hanya pada pengetahuan saja, seseorang yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan yangdiketahuinya, jika tidak terlatih untuk melakukan kebaikan tersebut. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik yaitu, moral knowing(pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action (perbuatan moral) (Asmani. 2011:86). Moral knowingterkait dengan kesadaran moral, pengetahuan mengenai nilai-nilai moral, moral feeling merupakan aspek yang harus ditanamkan terkait dengan dorongan atau sumber energi dalam diri manusia untuk bertindak sesuai nilai-nilai prinsip-prinsip moral, dan moral action bagaimana pengetahuan nilai-nilai moral tersebut diwujudkan dalam aksi nyata.
Pendidikan karakter yang baik tidak hanya melibatkan aspek moral knowing, tetapi juga moral feeling dan moral action. Dengan kata lain, semakin lengkap komponen moral manusia akan semakin membentuk karakter yang baik dan unggul. Ki Hajar Dewantara menerjemahkan langkah tersebut dengan konsep cipta, rasa dan karsa. Tahap-tahap pendidikan karakter memang harus dilakukan secara sistematis dan tidak boleh meloncat karena berpengaruh terhadapap hasilnya.
Ki Hajar Dewantara menyatakan dalam pelaksanaan pendidikan karakter haruslah sesuai dengan tingkatan umur para peserta didik. Hal ini dikarenakan seorang pendidik harus memahami tentang kondisi psikis dari peserta didik dengan tujuan bahwa ketika materi pendidikan karakter disampaikan harus dapat dipahami dan dicerna secara utuh. Sehingga Ki Hajar Dewantara membagi empat tingkatan dalam pengajaran pendidikan karakter, adapun materi pendidikan karakter tersebut adalah sebagai berikut: Taman Indria dan Taman Anak (5-8 tahun), Taman Muda (umur 9-12 tahun), Taman Dewasa (umur 14-16 tahun), Taman Madya dan Taman Guru (umur 17-20).


Sumber:
http://perpus.iainsalatiga.ac.id/docfiles/fulltext/590066704.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar