Pendidikan
Karakter
Dalam Teori
Pendidikan Ki Hajar Dewantara
A. Pengertian pendidikan karakter
Ki Hajar
Dewantara mendefinisikan pendidikan adalah sebagai daya dan upaya yang
dilakukan untuk memajukan bertumbuhnya budipekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran
dan tubuh anak agar dapat mencapai kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan
penghidupan anak-anak peserta didik dapat selaras dengan dunianya (Tamansiswa.
1967:15).
Pendidikan
yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara memperhatikan keseimbangan cipta, rasa,
dan karsa tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer
of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses transformasinilai
(transformation of value). Dengan kata lain pendidikan adalah proses
pembentukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia.
Sedangkan
karakter dalam istilah sederhananya adalah pendidikan budi pekerti, kata
karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya watak. Ki Hajar
Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter, mengasah
kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan
kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter
(jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang akan senantiasa
dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli bengis, murka, pemarah,
kikir, keras, dan lain-lain (Tamansiswa. 1977: 24).
Karakter
adalah pola untuk membentuk peserta didik yang beradab, membangun watak manusia
yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya,
cerdas dan memiliki ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, sehingga bisa
mewujudkan manusia yang mandiri serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
bangsa, negara dan masyarakat pada umumnya.
B. Konsep pendidikan karakter
Ki Hajar Dewantara merupakan
keturunan dari Paku Alam III, dan mendapat pendidikan agama dari ayahnya dengan
berpegang pada ajaran yang berbunyi “syariat tanpa hakikat adalah kosong,
hakikat tanpa syariat adalah batal” (Soeratman, 1985: 16). Beliau juga mendapat
pelajaran falsafah Hindu yang tersirat dari cerita wayang dan juga satra jawa
gending. Ki Hajar Dewantara di dalam keluarganya banyak bersentuhan dengan
iklim keluarga yang penuh dengan nuansa kerajaan yang feodal. Walaupun ayahnya
seorang keturunan dari paku alam III, Ki Hajar Dewantara seorang yang sangat
dekat dengan rakyat, karena pada masa kecilnya Ki Hajar Dewantara senang bergaul
dengan anak-anak kebanyakan di kampung-kampung sekitar puri tempat tinggalnya.
Ki Hajar Dewantara menolak adat feodal yang berkembang di lingkungan kerajaan.
Hal ini dirasakan olehnya bahwa adat yang demikian menganggu kebebasan
pergaulannya (Tamansiswa, 1979: 15).
Pada masa itu pendidikan sangatlah
langka, hanya orang-orang dari kalangan Belanda, Tiong Hoa, dan para pembesar
daerah saja yang dapat mengenyam jenjang pendidikan yang diberikan oleh
pemerintahan Belanda. Ki Hajar Dewantara sewaktu kecil mendapat pendidikan
formal pertama kali pada tahun 1896, akan tetapi Ki Hajar Dewantara merasa
kecewa karena teman sepermainannya tidak dapat bersekolah bersama sebab mereka
hanya rakyat biasa. Hal ini yang kemudian mengilhami dan memberikan kesan yang
sangat mendalam di dalam hati nuraninya, dalam melakukan perjuangannya baik
dalam dunia politik sampai dengan pendidikan. Ki Hajar Dewantara juga menentang
kolonialisme dan foedalisme yang menurutnya sangat bertentangan dengan rasa
kemanusiaan kemerdekaan dan tidak memajukan hidup dan penghidupan manusia
secara adil dan merata (Soeratman, 1985: 19).
Kecintaan Ki Hajar Dewantara
terhadap ilmu pengetahuan dan agama membuatnya menjadi sosok yang memiliki
pengetahuan dan wawasan yang sangat luas, sehingga membuat beliau dihormati
oleh rakyat dan disegani oleh musuh. Ki Hajar Dewantara melihat ketimpangan
pendidikan yang dialamai oleh rakyat kecil, sehingga mendorong Ki Hajar
Dewantara untuk berusaha memperjuangkan rakyat kecil agar dapat mengenyam
pendidikan, karenabagi Ki Hajar Dewantara pendidikan merupakan hak setiap
manusia dan juga bekal bagi masa depan.
C. Tujuan pendidikan karakter
Tujuan pendidikan bagi Ki Hajar
Dewantara adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin,
luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang
berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta
manusia pada umumnya (Suparlan. 1984: 109). Ki Hajar Dewantara mengungkapkan
bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan yaitu suatu usaha memberikan
nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya
bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta
memperkembangkan kebudayaan menuju kearah keluhuran budaya manusia.
Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat
ditempuh dengan sikap yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu ;
1.
Kontinuitas yang berarti bahwa garis hidup kita
sekarang harus merupakan lanjutan dari kehidupan kita pada zaman lampau berikut
penguasaan unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa lain,
2.
Konvergensi yaitu berarti kita harus menghindari hidup
menyendiri, terisolasi dan mampu menuju kearah pertemuan antar bangsa dan
komunikasi antar negara menuju kemakmuran bersama atas dasar saling
menghormati, persamaan hak, dan kemerdekaan masing-masing,
3.
Konsentris yang berarti setelah kita bersatu dan
berkomunikasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia, kita jangan kehilangan
kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia adalah masyarakat merdeka yang memiliki
adat istiadat dan kepribadian sendiri, meskipun bertitik pusat satu, namun
dalam lingkaran yang konsentris masih tetap memiliki lingkaran sendiri yang
khas yang membedakan negara Indonesia dengan negara yang lainnya (Tamansiswa.
1977: 206).
D. Dasar pendidikan
Falsafah pendidikan Ki Hajar
Dewantara bukan semata-mata sistem pendidikan perjuangan, melainkan juga
merupakan suatu pernyataan falsafah dan budaya bangsa Indonesia sendiri. Sistem
pendidikan tersebut kaya akan konsep-konsep kependidikan yang asli. Ki Hajar
Dewantara mengembangkan sistem pendidikan melalui Perguruan Taman Siswa yang
mengartikan pendidikan sebagai upaya suatu bangsa untuk memelihara dan
mengembangkan benih turunan bangsa itu. Untuk itu, Ki Hajar Dewantara
mengembangkan metode among sebagai sistem pendidikan yang didasarkan asas
kemerdekaan dan kodrat alam.
Sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara
dikembangkan berdasarkan lima asas pokok yang disebut Pancadarma Taman Siswa,
yang meliputi: Asas kemerdekaan, Asas kodrat alam, Asas kebudayaan, Asas
kebangsaan, Asas kemanusiaan.
E. Pokok ajaran
Pokok ajaran Ki Hajar Dewantara
menyatakan bahwa pendidikan yang cocok untuk anak-anak Indonesia adalah
Pendidikan Nasional. Untuk menyelengarakan pendidikan nasional beliau
mendirikan Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa yang kemudian dikenal
sebagai Perguruan Taman Siswa. Perguruan Taman Siswa bertujuan untuk membuat
rakyat pandai, sebab Ki Hajar Dewantara berkeyakinan bahwa perjuangan
pergerakan tidak akan berhasil tanpa kepandaian. Untuk itu Ki Hajar Dewantara
mengemukakan konsepnya mengenai Pendidikan Nasional yang direalisasi mulai
tanggal 3 Juli 1922 dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta
dengan tugas-tugasnya.
Dalam pandangan Ki HajarDewantara
kedewasaan bisa diartikan sebagai kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan
penghidupan anak-anak yang selaras dengan alamnya dan masyarakat. Ki Hajar
Dewantara mengartikan pendidikan secara umum sebagai daya upaya untuk
mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelektual)
dan jasmani anak, menuju ke arah masa depan yang lebih baik. Kedewasaan akan
tercapai pada akhir windu ketiga, yaitu tercapainya kesempurnaan hidup selaras
dengan alam anak dan masyarakat. Jadi dapat diartikan bahwa pendidikan terutama
berlangsung sejak anak lahir hingga anak berusia sekitar 24 tahun.
1.
Ing ngarsa sung tulada
Berarti guru sebagai pemimpin
(pendidik) berdiri di depan dan harus Semboyan Ki Hajar Dewantara yang tidak
kalah penting adalah konsep dasar pendidikan karakter yang sekaligus diterima
sebagai prinsip kepemimpinan bangsa Indonesia yang dikenal sebagai sistem
among, yang antara lain berbunyi: mampu memberi teladan kepada anak didiknya.
Guru harus bisa menjaga tingkah lakunya supaya bisa menjadi teladan. Dalam
pembelajaran, apabila guru mengajar menggunakan metode ceramah, guru harus
benar-benar siap dan tahu bahwa yang diajarkannya itu baik dan benar.
2.
Ing madya mangun karsa
Berarti bahwa seorang pemimpin
(pendidik) ketika berada di tengah harus mampu membangkitkan semangat,
berswakarsa dan berkreasi pada anak didik. Hal ini dapat diterapkan bila guru
menggunakan metode diskusi. Sebagai nara sumber dan sebagai pengarah guru dapat
memberi masukan-masukan dan arahan,
3.
Tut wuri handayani
Yang berarti bahwa seorang pemimpin
(pendidik) beradadi belakang, mengikuti dan mengarahkan anak didik agar berani
berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab. Ketika guru berada di
tengahmembangun semangat, di belakang memberi dorongan, dapat terjadi anak
didik akan berusaha bersaing, berkompetisi menunjukkan kemampuannya yang
terbaik (Soeratman. 1989 : 98).
Ki Hajar menyetujui teori
Konvergensi, dimana perkembangan manusia itu ditentukan oleh dasar (nature) dan
ajar (nurture). Anak yang baru lahir diibaratkan keertas putih yang sudah ada
tulisannya, tetapi belum jelas”. Selanjutnya Ki Hajar juga berpendapat bahwa
perkembangan anak didik mulai dari lahir hingga dewasa dibagi atas fase-fase sebagai
berikut: (1) Jaman Wiraga (0-8 th) merupakan periode yang amat penting bagi
perkembangan badan dan pandcaindra. (2) Jaman Wicipta (8-16 th) merupakan masa
perkembangan untuk daya-daya jiwa terutama pikiran anak, dan (3) Jaman wirama
(16-24 th) masa untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat di mana anak
mengambil bagian sesuai dengan cita-cita hidupnya (Tamansiswa. 1977:76)
F. Metode pendidikan
Metode pendidikan yang digunakan
oleh Ki Hajar Dewantara adalah sistem among, dalam sistem among pendidik atau
guru hanya bertugas untuk menuntun anak didiknya. Mendidik anak berdasarkan
pada asih, asah dan asuh, yang bersendikan pada kemerdekaan anak didiknya
sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin
anak hingga dapat hidup mandiri. Maksud dari manusia merdeka adalah seseorang
yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya
dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Selain
merdeka yaitu kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai
kemajuan dengan secepat-cepatnya.
Metode Among sering dikaitkan dengan
semboyan yang berbunyi: Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut
Wuri Handayani. Semboyan ini telah banyak dikenal oleh masyarakat dari pada
metode among sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat yang belum
memahaminya. Metode among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang
artinya mengasuh anak. Para guru atau pendidik disebut pamong yang bertugas
untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Sikap
Momong, Among, dan Ngemong, didalamnya terkandung nilai yang sangat mendasar,
yaitu pendidikan tidak memaksa namun bukan berarti membiarkan anak berkembang
bebas tanpa arah. Metode among mempunyai pengertian menjaga, membina dan
mendidik anak dengan kasih sayang.
G. Materi pendidikan
Pendidikan karakter membutuhkan proses
atau tahapan yang sistematis dan sesuai dengan fase pertumbuhan dan
perkembangan peserta didik. Pembangunan karakter tidak cukup hanya dimulai dan diakhiri
dengan penetapan misi, akan tetapi perlu dilanjutkan dengan proses yang
dilakukan secara terus-menerus sepanjang hidup. Karakter dikembangkan melalui
tahap pengetahuan, pelaksanaan, dan kebiasaan. Karakter tidak terbatas hanya
pada pengetahuan saja, seseorang yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan
belum tentu mampu bertindak sesuai dengan yangdiketahuinya, jika tidak terlatih
untuk melakukan kebaikan tersebut. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen
karakter yang baik yaitu, moral knowing(pengetahuan tentang moral), moral
feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action
(perbuatan moral) (Asmani. 2011:86). Moral knowingterkait dengan kesadaran
moral, pengetahuan mengenai nilai-nilai moral, moral feeling merupakan aspek yang
harus ditanamkan terkait dengan dorongan atau sumber energi dalam diri manusia
untuk bertindak sesuai nilai-nilai prinsip-prinsip moral, dan moral action bagaimana
pengetahuan nilai-nilai moral tersebut diwujudkan dalam aksi nyata.
Pendidikan karakter yang baik tidak
hanya melibatkan aspek moral knowing, tetapi juga moral feeling dan moral
action. Dengan kata lain, semakin lengkap komponen moral manusia akan semakin
membentuk karakter yang baik dan unggul. Ki Hajar Dewantara menerjemahkan
langkah tersebut dengan konsep cipta, rasa dan karsa. Tahap-tahap pendidikan
karakter memang harus dilakukan secara sistematis dan tidak boleh meloncat
karena berpengaruh terhadapap hasilnya.
Ki Hajar Dewantara menyatakan dalam
pelaksanaan pendidikan karakter haruslah sesuai dengan tingkatan umur para
peserta didik. Hal ini dikarenakan seorang pendidik harus memahami tentang
kondisi psikis dari peserta didik dengan tujuan bahwa ketika materi pendidikan
karakter disampaikan harus dapat dipahami dan dicerna secara utuh. Sehingga Ki
Hajar Dewantara membagi empat tingkatan dalam pengajaran pendidikan karakter,
adapun materi pendidikan karakter tersebut adalah sebagai berikut: Taman Indria
dan Taman Anak (5-8 tahun), Taman Muda (umur 9-12 tahun), Taman Dewasa (umur
14-16 tahun), Taman Madya dan Taman Guru (umur 17-20).
Sumber:
http://perpus.iainsalatiga.ac.id/docfiles/fulltext/590066704.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar